Okupasi dalam Perspektif Hukum Internasional
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Untuk dapat membentuk
Negara yang berdaulat terdapat beberapa teori yang berkembang dalam bidang ilmu
pengetahuan, khususnya dalam ilmu pengetahuan hukum berkaitan dengan kegiatan
internasional yakni terdapat berbagai teori yang dikemukakan parah ahli untuk
memperoleh suatu wilayah yang berdaulat yaitu okupasi, aneksasi, cessie, dan
preskripsi. Salah satunya adalah okupasi yang akan dibahas dalam makalah ini.
Okupasi
merupakan penegakan kedaulatan atas wilayah yang tidak berada di bawah
penguasaan negara manapun, baik wilayah yang baru ditemukan, ataupun yang
ditinggalkan oleh negara yang semula menguasainya. Penguasaan tersebut harus
dilakukan oleh negara dan bukan oleh orang perorangan, secara efektif dan harus
terbukti adanya kehendak untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai bagian dari
kedaulatan negara.
Indonesia adalah negara kepulauan
yang terdiri dari kurang lebih sekitar 13.466 pulau, yang mana besar
kemungkinan terjadinya okupasi di pulau-pulau tersebut, seperti diketahui pada
tahun 2002 lalu Indonesia
dan Malaysia baru saja menyelesaikan persidangan atas Pulau Sipadan dan Lingitanyang
digelar Mahkamah Internasional (International Court Justice), di Den
Haag, Belanda. Setelah mendengar opini hukum kedua negara dalam acara oral
hearing itu, badan di bawah PBB tersebut telah menjatuhkankeputusan
tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan
Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim,
sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15
merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia
dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.Disini telah terjadi okupasi ataspulau sipadan dan lingitan
oleh Malaysia terhadap pulau sipadan,dan lingitan yang mana ketika
Malaysia-Indonesia membahas Landas Kontinen. Perselisihan berawal dari
perbedaan penafsiran atas Perjanjian 1891 yang dibuat dua kolonialis,
Inggris-Belanda, untuk membagi Kalimantan.kedua negara sejak awal telah sepakat
tidak ada aktivitas apa pun atas dua pulau yang jadi obyek sengketa. Angkatan
laut Malaysia tidak hanya "mengamankan" Sipadan, dan lingitan tapi
juga membangun pariwisata dan penangkaran penyu.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang pemikiran
sebagaimana diuraikan diatas, masalah yang ingin dibahas meliputi:
·
Bagaimana perspektif hukum internasional terkait okupasi di
wilayah tersebut?
·
Bagaimana peranan hukum internasional dalam menyelesaikan
sengketa okupasi pulau sipadan dan lingitan antara Indonesia dan Malaysia ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kerangka teori
Okupasi merupakan penegakan kedaulatan atas wilayah yang
tidak berada di bawah penguasaan negara manapun, baik wilayah yang baru
ditemukan, ataupun yang ditinggalkan oleh negara yang semula
menguasainya.Secara klasik, pokok permasalahan daru okupasi adalah terra
nullius, dan wilayah yang didiami oleh suku-suku bangsa atau rakyat-rakyat yang
memiliki organisasi sosial dan politik tidak termasuk dalam terra
nullius.Apabila wilayah daratan didiami oleh suku-suku bangsa yang
terorganisir, maka kedaulatan teritorial harus diperoleh dengan membuat
perjanjian-perjanjian lokal dengan penguasa setempat.
Ada dua teori okupasi yang paling dianggap memeiliki
arti penting dalam kaitannya mengenai klaim-klaim beberapa negara atas wilayah
tak bertuan:
1.Teori Kontinuitas (Continuity), menurut teori ini dimana suatu tindakan okupasi di suatu wilayah tertentu dapat memperluas kedaulatan negara yang melakukan okupasi sejauh diperlukan untuk menjamin keamanan atau pengembangan wilayah yang terkait.
2.Teori Kontiguitas (Contiguity), menurut teori ini kedaulatan negara yang melakukan okupasi tersebut mencakup wilayah-wilayah yang berbatasan yang secara geografis berhubungan dengan wilayah terkait.[1]
1.Teori Kontinuitas (Continuity), menurut teori ini dimana suatu tindakan okupasi di suatu wilayah tertentu dapat memperluas kedaulatan negara yang melakukan okupasi sejauh diperlukan untuk menjamin keamanan atau pengembangan wilayah yang terkait.
2.Teori Kontiguitas (Contiguity), menurut teori ini kedaulatan negara yang melakukan okupasi tersebut mencakup wilayah-wilayah yang berbatasan yang secara geografis berhubungan dengan wilayah terkait.[1]
Dalam Eastern Greenland Case, Permanent Court of
International Justice menetapkan bahwa agar okupasi berjalan secara efektif,
mensyaratkan dua unsur di pihak negara yang melakukan okupasi:
1.Suatu kehendak atau keinginan untuk melakukan tindakan/ bertindak sebagai yang berdaulat,
2.Melaksanakan atau menunjukkan kedaulatan secara pantas.[2]
1.Suatu kehendak atau keinginan untuk melakukan tindakan/ bertindak sebagai yang berdaulat,
2.Melaksanakan atau menunjukkan kedaulatan secara pantas.[2]
Okupasi
atau prescription adalah cara memperoleh wilayah dengan jalan menduduki wilayah
tersebut dalam jangka waktu yang cukup lama secara terus-menerus, tanpa adanya
protes/gugatan dari pihak manapun dan memerintah wilayah tersebut secara
teratur dan damai.[3]
Terkait dengan kasus okupasi yang terjadi di pulau
sipadan dan lingitan menurut Laksamana Muda TNI Ishak Latuconsina ,Indonesia memiliki
bukti yang kuat terhadap kedua pulau tersebut yakni : “Indonesia berpegang pada
perjanjian atau konvensi Inggris dan Belanda pada 1891, berisi pembagian
wilayah Kalimantan. Di situ ditegaskan, bagian utara milik Inggris, sedang
belahan selatan Kalimantan dikuasai Belanda. Pada titik timur Kalimantan,
persisnya lintang 4 derajat 10 menit, ditarik garis yang membelah Pulau Sipatik
menjadi dua bagian. Pada bagian Belanda kemudian ada perpanjangan, yang
menempatkan pulau Sipadan dan Ligitan berada di selatan pulau, sehingga menjadi
bagian Belanda.Hak yang dimiliki sebagai akibat ada perjanjian pembagian
wilayah antara Inggris dan Belanda.Belanda yang menjajah Indonesia dan Inggris
yang menjajah Malaysia. Setelah merdeka otomatis disesuaikan dengan perjanjian
mereka.”.[4]
BAB III
ANALISIS
Pulau Sipadan dan Lingitan merupakan
objek sengketa internasional antara Indonesia dan Malaysia. Pulau Sipadan
dengan luas 10,4 ha terletak 15 mil laut (sekitar 24 km) dari pantai Sabah
Malaysia dan 40 mil laut atau 64 km dari pulau Sebatik Indonesia. Sedangkan
pulau Lingitan dengan luas 7,9 ha terletak sekitar 21 mil laut atau sekitar 34
km dari pantai Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut atau 93 km dari pulau Sebatik
Indonesia.
Persengketaan antara Indonesia dan Malaysia mencuat pada
tahun 1973 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua belah negara,
masing masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan Lingitan ke dalam
batas-batas wilayahnya. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan
untuk mengukuhkan pulau Sipadan dan Lingitan, maka dicarilah dasar hukum dan
fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau
tersebut. Di saat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut
merupakan miliknya sesuai peta unilateral 1979 Malaysia, serta mengemukakan
sejumlah dalil, alasan dan fakta. Namun kedua belah pihak untuk sementara
sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “status quo” dan pada tahun 1989
masalah pulau Sipadan dan Lingitan mulai dibicarakan kembali oleh dua belah
negara.[5]
Pada tahun 1992, kedua negara sepakat
menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan
pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati
perlunya dibentuk Komisi Bersama dan Kelompok Kerja Bersama (Joint Commision (JC), Joint Working Group
(JWG)). Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak
membawa hasil, kedua pihak berpegang pada prinsipnya masing masing yang berbeda
untuk mengatasi permasalahan ini. Pada pertemuan tanggal 6-7 Oktober 1996 di
Kuala Lumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil
khusus, dan 31 Mei 1997 disepakati “Special
Agreement for The Submission to the International Court of Justice the Dispute
between Indonesia and Malaysia concerning the Sovereignty over Sipadan and
Lingitan Island”. [6]
Special agreement tersebut lalu
disampaikan secara resmi ke Mahkamah Internasional pada 2 November 1998. Dengan
itu proses ligitasi pulau Sipadan dan Lingitan di Mahkamah Internasional mulai
berlangsung. Pada
tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC
(Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di
pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN
untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN
akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa
dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah
dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan
Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada
tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan
pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk
mencabut klaim atas kedua pulau.[7]
Setelah hampir 30 tahun, perundingan tiba pada jalan buntu,
karena baik Indonesia yang bertahan pada posisi dan argumentasi bahwa kedua
pulau tersebut telah menjadi bagian wilayahnya sejak masa penjajahan Belanda,
maupun Malaysia yang juga meyakini kedaulatannya atas pulau-pulau tersebut
sejak masa colonial Inggris, tetap bertahan pada posisi masing-masing. Pada 1997
kedua belah pihak sepakat menempuh jalan hukum yaitu dengan menyerahkan
sengketa tersebut kepada Mahkamah Internasional.
Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober
1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang
pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim,
dibuatkan kesepakatan “Final and Binding,” pada tanggal 31 Mei 1997, kedua
negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal
29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia
meratifikasi pada 19 November 1997.
Kedua negara memiliki kewajiban
penyampaian posisi masing masing melalui “Written
Pleading” kepada Mahkamah Memorial pada 2 November 1999 diikuti “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000
dan “Reply” pada 2 Maret 2001. Lalu
dilanjut dengan proses “Oral Hearing”
dari kedua negara yang bersengketa pada 3-12 Juni 2002.[8]
Special Agreement adalah
persyaratan prosedural yang memungkinkan mahkamah memiliki jurisdiksi terhadap
kasus yang dibawa ke Mahkamah Internasional. Masalah pokok yang dimintakan
dalam Special Agreement adalah Mahkamah Internasional dapat memutus suatu
perkara berdasarkan perjanjian-perjanjian, fakta historis dan dokumen-dokumen
yang diberikan oleh Indonesia dan Malaysia ke pengadilan.
Special
Agreement juga mencantumkan tentang kesediaan dua belah negara untuk menerima
hasil keputusan dewan juri dengan lapang dada dan menerimanya sebagai keputusan
yang bersifat akhir dan mengikat.
Keputusan Mahkamah Internasional
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa
ke Mahkamah Internasional.Kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 Mahkamah
Internasional mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau
Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Dalam persidangan Mahkamah
Internasional yang melibatkan argumentasi kontra argumentasi, berbagai dalil
hukum, teori, bukti sejarah, dokumen dan fakta pendukung dari kedua belah pihak
yang masing-masing dilengkapi oleh tim pengacara handal, akhirnya Mahkamah
Internasional memutuskan pulau Sipadan dan pulau Ligitan milik Malaysia.
Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan
oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17
hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan
pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia,
oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada
pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah
Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata
berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap
pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an.
Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi
pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan
dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut
antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.[9]
-
Landasan Keputusan Mahkamah
Internasional Sehingga Memenangkan Malaysia
Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan
effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas
maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan
administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa
burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan
operasi mercu suar sejak 1960-an.Hal ini membuktikan adanya kehendak dan
tindakan menjalankan fungsi negara, yang memenuhi fungsi effectivities.
-
Kekalahan dan Letak Kesalahan
Indonesia Mengenai Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan
Kekalahan Indonesia di Sipadan dan Ligitan (sebelah utara
Ambalat) adalah karena Indonesia tidak bisa menunjukkan bukti bahwa Belanda
(penjajah Indonesia) telah memiliki kedua pulau itu; sementara Malaysia bisa
menunjukkan bukti bahwa Inggris (penjajah Malaysia) memiliki dan mengelola kedua
pulau itu. Dalam Hukum Internasional dikenal istilah “Uti Possidetis Juris”
yang artinya negara baru akan memiliki wilayah atau batas wilayah yang sama
dengan bekas penjajahnya. Dalam sengketa Sipadan-Ligitan, Indonesia dan
Malaysia bersepakat istilah “warisan penjajah” itu berlaku untuk
wilayah-wilayah yang dikuasai sebelum tahun 1969. Jadi Mahkamah Internasional
memenangkan Malaysia saat itu bukan karena Malaysia pada tahun 1990-an telah
membangun resort di kedua pulau itu; tetapi karena Inggris sebelum tahun 1969
telah menununjukkan penguasaan yang efektif atas kedua pulau itu berupa
pungutan pajak atas pemungutan telur penyu, operasi mercu suar, dan aturan
perlindngan satwa.[10]
Sebenarnya pemerintah Indonesia dengan para diplomatnya
telah berusaha untuk mendapatkan hak atas kedua pulau itu. Dengan segala cara
mereka kerahkan,mulai dari Diplomasi dan perundingan setiap tahun-nya,tetapi
Indonesia dan Malaysia juga tidak dapat mencari titik temu dan kesepakatan
dalam Sipadan dan Ligitan.sesuai dengan Piagam ASEAN,di mana negara-negara
anggota ASEAN dalam menyelesaikan suatu permasalahan harus di tempuh nya itikad
baik dan damai (Perjanjian ASEAN 24 februari 1976 di BALI). Apabila tidak
menemukan kesepakatan, setiap anggota ASEAN wajib membawa kasus mereka ke PBB
dan putusan Mahkamah Internasional adalah final dan tidak dapat di ganggu
gugat.
Lebih dari itu,sebenarnya Mahkamah Internasional sudah
mengetahui kalau Belanda adalah pemilik pulau itu dahulunya. Tetapi, belanda
tidak pernah melakukan tindakan yang nyata apapun di Pulau itu.Justru
sebaliknya Inggris-lah yang banyak melakukan pembangunan dan invasi di kedua
pulau itu.Kemudian, Mahkamah Internasional menolak pembelaan dan argumen
Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891.Argumen ini hanya mengatur batasan
wilayah di Kalimantan (darat) tidak di perairan. Jauh dari pada itu Konvensi
1891, hanya menarik 3 mil dari titik pantai (kalau sekarang 12 mil) dan
penarikan 3 mil itu tidak sampai ke sipadan dan Ligitan.
Dan terakhir Indonesia kalah di Faktor Occupation
(pendudukan).Intinya masyarakat yang tinggal di pulau tersebut banyak
bergantung pada transpotasi dan bantuan ekonomi dari Malaysia
bertahun-tahun.Sarana hiburan seperti pemancar radio, telepon, dan televisi
juga berasal dari Malaysia selama bertahu-tahun).Dari pernyataan diatas yang
menjadi penyebab utama kekalahan Indonesia adalah Indonesia kurang memiliki
data dan bukti historis yang dapat menunjukan bahwa Belanda juga memiliki
kehendak dan tindakan menjalankan fungsi negara yang malahan lebih kuat dari
Inggris pada masanya. Lebih dari itu,sebenarnya Mahkamah Internasional
sudah mengetahui kalau Belanda adalah pemilik pulau itu dahulunya. Tetapi,
belanda tidak pernah melakukan tindakan yang nyata apapun di Pulau itu.Justru
sebaliknya Inggris-lah yang banyak melakukan pembangunan dan invasi di kedua
pulau itu.Kemudian, Mahkamah Internasional menolak pembelaan dan argumen
Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891.Argumen ini hanya mengatur batasan
wilayah di Kalimantan (darat) tidak di perairan. Jauh dari pada itu Konvensi
1891, hanya menarik 3 mil dari titik pantai (kalau sekarang 12 mil) dan
penarikan 3 mil itu tidak sampai ke sipadan dan Ligitan.
Dengan
memperhatikan posisi dan letak Sipadan dan Ligitan serta ambisi
strategis/ekonomis Belanda adalah sulit dibayangkan kalau Belanda tidak
melakukan kegiatan pengawasan dan pemanfaatan kedua pulau tersebut pada waktu
itu.Disamping itu, nampaknya Indonesia memang agak mengabaikan Sipadan dan
Ligitan.Sebelum 1969 barangkali karena Indonesia tidak menyadari keberadaan
posisi kedua pulau itu, atau mungkin juga karena terlalu banyak persoalan yang
dihadapi. Tetapi sesudah tahun 1969 pada saat mulai muncul sengketa klaim,
meskipun disepakati status quo atas Sipadan dan Ligitan, justru Malaysia tetap
melanjutkan kegiatannya berupa penangkapan ikan, pariwisata, dan kehadiran
penduduk yang terus meningkat.
BAB IV
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan
analisis yang telah diuraikan diatas dapat di simpulkan bahwa okupasi yang
terjadi di pulau Sipadan dan lingitan mencuat pada tahun 1973 ketika dalam
pertemuan teknis hukum laut antara kedua belah negara, masing masing negara
ternyata memasukkan pulau Sipadan dan Lingitan ke dalam batas-batas wilayahnya.
Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan pulau
Sipadan dan Lingitan, maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti
lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut.
Dalam
pandangan atau perspektif hukum internasional sendiri sengketa kepulauan
sipadan dan lingitan dalam Hukum Internasional dikenal istilah “Uti Possidetis
Juris” yang artinya negara baru akan memiliki wilayah atau batas wilayah yang
sama dengan bekas penjajahnya. Dalam sengketa Sipadan-Ligitan, Indonesia dan
Malaysia bersepakat istilah “warisan penjajah” itu berlaku untuk
wilayah-wilayah yang dikuasai sebelum tahun 1969.
Dengan
adanya hukum internasional melalui Mahkamah Internasional kasus sengketa pulau
sipadan dan lingitan pun dapat diselesaikan berdasarkan pertimbangan
effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan
batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah
melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi
perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu
sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Dengan memenangkan
Malaysia sebagai pemilik pulau sipadan dan lingitan berdasarkan bukti bukti
yang telah di ajukan para pihak dalam persidangan di Mahkamah Internasional
Saran
Dalam hal
ini untuk mengantisipasi agar kepulauan NKRI tidak lepas atau diambil oleh
Negara lain Indonesia harus lebih meningkatkan pertahanan dan keamanan nasional
dan mengumpulkan bukti bukti atas kepemilikan wilayah NKRI, pemerintah
Indonesia harus bersikap tegas dan bersikap tegas terhadap kasus-kasus serupa
sehingga wilayah NKRI tetap utuh.
Daftar Pustaka
·
KhoerunnisyaNisha,2013,
“Sengketa Pulau Sipadan dan Lingitan”, http://nisha-khoerunnisya.blogspot.com/2013/05/sengketa-pulau-sipadan-dan-ligitan.html
·
Pratama Hidayat, 2012,
”Uraian Singkat Kasus Sengketa Indonesia” http://hidayatpratama.blogspot.com/2012/05/uraian-singkat-kasus-sengketa-indonesia.html
·
Tempo,1990, “Malaysia
Telah Okupasi Sipadan”,http://tempo.co.id/harian/wawancara/waw-ishaklatuconsina.html
·
Acha Bagas, 2012,”Hukum
Internasional”,http://bgazacha.blogspot.com/2012/03/hukum-internasional.html
·
Setyawanta Tri,2008,Hand Out Pokok-Pokok Kuliah Hukum
Internasional, Universitas Diponegoro
[1]Bagas Acha ,“Hukum
Internasional” diakses dari http://bgazacha.blogspot.com/2012/03/hukum-internasional.html
,pada
tanggal 28 september 2013 pukul 11.15
[2]Ibid.
[3]Tri Setyawanta,Hand Out Pokok-pokok Kuliah Hukum
Internasional, universitas diponegoro,semarang,2008, hlm. 32
[4]Tempo,
“Malaysia Telah Okupasi Sipadan” diakses dari http://tempo.co.id/harian/wawancara/waw-ishaklatuconsina.html,
pada tanggal 28 September 2013 Pukul 11.15
[5]Aghnaita Firdayanti,“Kasus Sengketa Pulau Sipadan dan
Lingitan” diakses darihttp://studiespassions.wordpress.com , pada 28 September 2013 Pukul 11.15
[6]Ibid.
[7]Hidayat Pratama, “Uraian Singkat
Kasus Sengketa Indonesia” ,diakses dari http://hidayatpratama.blogspot.com/2012/05/uraian-singkat-kasus-sengketa-indonesia.html, pada 28 September 2013 Pukul 11.15
[8]Ibid.
[9]Nisha khoerunnisya, “Sengketa Pulau Sipadan dan Lingitan” ,diakses
dari http://nisha-khoerunnisya.blogspot.com/2013/05/sengketa-pulau-sipadan-dan-ligitan.html,
pada 28 September Pukul 11.15
[10] Hidayat Pratama, Loc.Cit.