Senin, 18 Januari 2016

Perkenalan Redbird (Introduction Redbird)





Redbird adalah brand yang saya buat sendiri (orisinil) sebagai media saya dalam berbagi ilmu-ilmu ataupun informasi-informasi berkaitan dengan hukum.

Filosofi dari brand Redbird
  • Warna merah dimaksudkan jiwa atau semangat keberanian untuk berbagi informasi sekaligus memberi kritikan terkait dunia hukum.
  • Tanduk dimaksudkan semangat membongkar suatu permasalahan dari sisi hukum
  • sayap kiri yang terbuka dimaksudkan adalah posisi Redbird menunjukan informasi
  • Burung dimaksudkan harapan agar brand dapat berkembang (fly high)

#5 Law Quote


Quote from Anies Baswedan, adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia ke-26. Ia adalah seorang intelektual dan akademisi asal Indonesia. Cucu dari pejuang kemerdekaan Abdurrahman Baswedan, ia menginisiasi gerakan Indonesia Mengajar dan menjadi rektor termuda yang pernah dilantik oleh sebuah perguruan tinggi di Indonesia pada tahun 2007, saat menjadi rektor Universitas Paramadina pada usia 38 tahun. 
Source : wikipedia.org

#4 Law Quote

Quote from Munir, adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial. menjabat anggota dewan kontras, Saat menjabat Dewan Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar. 
Source : wikipedia.org

#3 Law Quote


Quote from adalah Presiden terpilih untuk Otoritas Nasional Palestina (PNA: Palestinian National Authority) pada 9 Januari 2005 dan menjabat kembali sejak 15 Januari 2005. 
Source : wikipedia.org

#2 Law Quote

Roscoe Pound also made a significant contribution to jurisprudence in the tradition of sociological jurisprudence, which emphasized on the importance of social relationships in the development of law and vice versa. His best-known theory consists of conceptualising law as social engineering. According to Pound, a lawmaker acts as a social engineer by attempting to solve problems in society using law as a tool.
Source : wikipedia.org

#1 Law Quote


 



Quote from Satjipto Rahardjo , adalah seorang guru besar emeritus dalam bidang hukum, dosen, penulis dan aktivis penegakan hukum Indonesia. Pada kisaran tahun 1970-an dan 1980-an, ia juga dikenal sebagai dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. #HukumProgresif , source : wikipedia.org

Minggu, 09 Maret 2014

Okupasi

Okupasi dalam Perspektif Hukum Internasional

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
            Untuk dapat membentuk Negara yang berdaulat terdapat beberapa teori yang berkembang dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu pengetahuan hukum berkaitan dengan kegiatan internasional yakni terdapat berbagai teori yang dikemukakan parah ahli untuk memperoleh suatu wilayah yang berdaulat yaitu okupasi, aneksasi, cessie, dan preskripsi. Salah satunya adalah okupasi yang akan dibahas dalam makalah ini.
Okupasi merupakan penegakan kedaulatan atas wilayah yang tidak berada di bawah penguasaan negara manapun, baik wilayah yang baru ditemukan, ataupun yang ditinggalkan oleh negara yang semula menguasainya. Penguasaan tersebut harus dilakukan oleh negara dan bukan oleh orang perorangan, secara efektif dan harus terbukti adanya kehendak untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai bagian dari kedaulatan negara.
            Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari kurang lebih sekitar 13.466 pulau, yang mana besar kemungkinan terjadinya okupasi di pulau-pulau tersebut, seperti diketahui pada tahun 2002 lalu Indonesia dan Malaysia baru saja menyelesaikan persidangan atas Pulau Sipadan dan Lingitanyang digelar Mahkamah Internasional (International Court Justice), di Den Haag, Belanda. Setelah mendengar opini hukum kedua negara dalam acara oral hearing itu, badan di bawah PBB tersebut telah menjatuhkankeputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.Disini telah terjadi okupasi ataspulau sipadan dan lingitan oleh Malaysia terhadap pulau sipadan,dan lingitan yang mana ketika Malaysia-Indonesia membahas Landas Kontinen. Perselisihan berawal dari perbedaan penafsiran atas Perjanjian 1891 yang dibuat dua kolonialis, Inggris-Belanda, untuk membagi Kalimantan.kedua negara sejak awal telah sepakat tidak ada aktivitas apa pun atas dua pulau yang jadi obyek sengketa. Angkatan laut Malaysia tidak hanya "mengamankan" Sipadan, dan lingitan tapi juga membangun pariwisata dan penangkaran penyu.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang pemikiran sebagaimana diuraikan diatas, masalah yang ingin dibahas meliputi:
·         Bagaimana perspektif hukum internasional terkait okupasi di wilayah tersebut?
·         Bagaimana peranan hukum internasional dalam menyelesaikan sengketa okupasi pulau sipadan dan lingitan antara Indonesia dan Malaysia ?
























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kerangka teori
Okupasi merupakan penegakan kedaulatan atas wilayah yang tidak berada di bawah penguasaan negara manapun, baik wilayah yang baru ditemukan, ataupun yang ditinggalkan oleh negara yang semula menguasainya.Secara klasik, pokok permasalahan daru okupasi adalah terra nullius, dan wilayah yang didiami oleh suku-suku bangsa atau rakyat-rakyat yang memiliki organisasi sosial dan politik tidak termasuk dalam terra nullius.Apabila wilayah daratan didiami oleh suku-suku bangsa yang terorganisir, maka kedaulatan teritorial harus diperoleh dengan membuat perjanjian-perjanjian lokal dengan penguasa setempat.
Ada dua teori okupasi yang paling dianggap memeiliki arti penting dalam kaitannya mengenai klaim-klaim beberapa negara atas wilayah tak bertuan:
1.Teori Kontinuitas (Continuity), menurut teori ini dimana suatu tindakan okupasi di suatu wilayah tertentu dapat memperluas kedaulatan negara yang melakukan okupasi sejauh diperlukan untuk menjamin keamanan atau pengembangan wilayah yang terkait.
2.Teori Kontiguitas (Contiguity), menurut teori ini kedaulatan negara yang melakukan okupasi tersebut mencakup wilayah-wilayah yang berbatasan yang secara geografis berhubungan dengan wilayah terkait.[1]
Dalam Eastern Greenland Case, Permanent Court of International Justice menetapkan bahwa agar okupasi berjalan secara efektif, mensyaratkan dua unsur di pihak negara yang melakukan    okupasi:
1.Suatu kehendak atau keinginan untuk melakukan tindakan/ bertindak sebagai yang berdaulat,
2.Melaksanakan atau menunjukkan kedaulatan secara pantas.[2]
Okupasi atau prescription adalah cara memperoleh wilayah dengan jalan menduduki wilayah tersebut dalam jangka waktu yang cukup lama secara terus-menerus, tanpa adanya protes/gugatan dari pihak manapun dan memerintah wilayah tersebut secara teratur dan damai.[3]
Terkait dengan kasus okupasi yang terjadi di pulau sipadan dan lingitan menurut Laksamana Muda TNI Ishak Latuconsina ,Indonesia memiliki bukti yang kuat terhadap kedua pulau tersebut yakni : “Indonesia berpegang pada perjanjian atau konvensi Inggris dan Belanda pada 1891, berisi pembagian wilayah Kalimantan. Di situ ditegaskan, bagian utara milik Inggris, sedang belahan selatan Kalimantan dikuasai Belanda. Pada titik timur Kalimantan, persisnya lintang 4 derajat 10 menit, ditarik garis yang membelah Pulau Sipatik menjadi dua bagian. Pada bagian Belanda kemudian ada perpanjangan, yang menempatkan pulau Sipadan dan Ligitan berada di selatan pulau, sehingga menjadi bagian Belanda.Hak yang dimiliki sebagai akibat ada perjanjian pembagian wilayah antara Inggris dan Belanda.Belanda yang menjajah Indonesia dan Inggris yang menjajah Malaysia. Setelah merdeka otomatis disesuaikan dengan perjanjian mereka.”.[4]









BAB III
ANALISIS
Pulau Sipadan dan Lingitan merupakan objek sengketa internasional antara Indonesia dan Malaysia. Pulau Sipadan dengan luas 10,4 ha terletak 15 mil laut (sekitar 24 km) dari pantai Sabah Malaysia dan 40 mil laut atau 64 km dari pulau Sebatik Indonesia. Sedangkan pulau Lingitan dengan luas 7,9 ha terletak sekitar 21 mil laut atau sekitar 34 km dari pantai Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut atau 93 km dari pulau Sebatik Indonesia.
Persengketaan antara Indonesia dan Malaysia mencuat pada tahun 1973 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua belah negara, masing masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan Lingitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan pulau Sipadan dan Lingitan, maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Di saat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut merupakan miliknya sesuai peta unilateral 1979 Malaysia, serta mengemukakan sejumlah dalil, alasan dan fakta. Namun kedua belah pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “status quo” dan pada tahun 1989 masalah pulau Sipadan dan Lingitan mulai dibicarakan kembali oleh dua belah negara.[5]
Pada tahun 1992, kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan Kelompok Kerja Bersama (Joint Commision (JC), Joint Working Group (JWG)). Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang pada prinsipnya masing masing yang berbeda untuk mengatasi permasalahan ini. Pada pertemuan tanggal 6-7 Oktober 1996 di Kuala Lumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus, dan 31 Mei 1997 disepakati “Special Agreement for The Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia and Malaysia concerning the Sovereignty over Sipadan and Lingitan Island”. [6]
Special agreement tersebut lalu disampaikan secara resmi ke Mahkamah Internasional pada 2 November 1998. Dengan itu proses ligitasi pulau Sipadan dan Lingitan di Mahkamah Internasional mulai berlangsung. Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.[7]
Setelah hampir 30 tahun, perundingan tiba pada jalan buntu, karena baik Indonesia yang bertahan pada posisi dan argumentasi bahwa kedua pulau tersebut telah menjadi bagian wilayahnya sejak masa penjajahan Belanda, maupun Malaysia yang juga meyakini kedaulatannya atas pulau-pulau tersebut sejak masa colonial Inggris, tetap bertahan pada posisi masing-masing. Pada 1997 kedua belah pihak sepakat menempuh jalan hukum yaitu dengan menyerahkan sengketa tersebut kepada Mahkamah Internasional.
Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan “Final and Binding,” pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.
Kedua negara memiliki kewajiban penyampaian posisi masing masing melalui “Written Pleading” kepada Mahkamah Memorial pada 2 November 1999 diikuti “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “Reply” pada 2 Maret 2001. Lalu dilanjut dengan proses “Oral Hearing” dari kedua negara yang bersengketa pada 3-12 Juni 2002.[8]
Special Agreement adalah persyaratan prosedural yang memungkinkan mahkamah memiliki jurisdiksi terhadap kasus yang dibawa ke Mahkamah Internasional. Masalah pokok yang dimintakan dalam Special Agreement adalah Mahkamah Internasional dapat memutus suatu perkara berdasarkan perjanjian-perjanjian, fakta historis dan dokumen-dokumen yang diberikan oleh Indonesia dan Malaysia ke pengadilan.
Special Agreement juga mencantumkan tentang kesediaan dua belah negara untuk menerima hasil keputusan dewan juri dengan lapang dada dan menerimanya sebagai keputusan yang bersifat akhir dan mengikat.
Keputusan Mahkamah Internasional
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke Mahkamah Internasional.Kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Dalam persidangan Mahkamah Internasional yang melibatkan argumentasi kontra argumentasi, berbagai dalil hukum, teori, bukti sejarah, dokumen dan fakta pendukung dari kedua belah pihak yang masing-masing dilengkapi oleh tim pengacara handal, akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan pulau Sipadan dan pulau Ligitan milik Malaysia.
Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.[9]

-       Landasan Keputusan Mahkamah Internasional Sehingga Memenangkan Malaysia
Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an.Hal ini membuktikan adanya kehendak dan tindakan menjalankan fungsi negara, yang memenuhi fungsi effectivities.

-       Kekalahan dan Letak Kesalahan Indonesia Mengenai Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan
Kekalahan Indonesia di Sipadan dan Ligitan (sebelah utara Ambalat) adalah karena Indonesia tidak bisa menunjukkan bukti bahwa Belanda (penjajah Indonesia) telah memiliki kedua pulau itu; sementara Malaysia bisa menunjukkan bukti bahwa Inggris (penjajah Malaysia) memiliki dan mengelola kedua pulau itu. Dalam Hukum Internasional dikenal istilah “Uti Possidetis Juris” yang artinya negara baru akan memiliki wilayah atau batas wilayah yang sama dengan bekas penjajahnya. Dalam sengketa Sipadan-Ligitan, Indonesia dan Malaysia bersepakat istilah “warisan penjajah” itu berlaku untuk wilayah-wilayah yang dikuasai sebelum tahun 1969. Jadi Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia saat itu bukan karena Malaysia pada tahun 1990-an telah membangun resort di kedua pulau itu; tetapi karena Inggris sebelum tahun 1969 telah menununjukkan penguasaan yang efektif atas kedua pulau itu berupa pungutan pajak atas pemungutan telur penyu, operasi mercu suar, dan aturan perlindngan satwa.[10]
Sebenarnya pemerintah Indonesia dengan para diplomatnya telah berusaha untuk mendapatkan hak atas kedua pulau itu. Dengan segala cara mereka kerahkan,mulai dari Diplomasi dan perundingan setiap tahun-nya,tetapi Indonesia dan Malaysia juga tidak dapat mencari titik temu dan kesepakatan dalam Sipadan dan Ligitan.sesuai dengan Piagam ASEAN,di mana negara-negara anggota ASEAN dalam menyelesaikan suatu permasalahan harus di tempuh nya itikad baik dan damai (Perjanjian ASEAN 24 februari 1976 di BALI). Apabila tidak menemukan kesepakatan, setiap anggota ASEAN wajib membawa kasus mereka ke PBB dan putusan Mahkamah Internasional adalah final dan tidak dapat di ganggu gugat.


Lebih dari itu,sebenarnya Mahkamah Internasional sudah mengetahui kalau Belanda adalah pemilik pulau itu dahulunya. Tetapi, belanda tidak pernah melakukan tindakan yang nyata apapun di Pulau itu.Justru sebaliknya Inggris-lah yang banyak melakukan pembangunan dan invasi di kedua pulau itu.Kemudian, Mahkamah Internasional menolak pembelaan dan argumen Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891.Argumen ini hanya mengatur batasan wilayah di Kalimantan (darat) tidak di perairan. Jauh dari pada itu Konvensi 1891, hanya menarik 3 mil dari titik pantai (kalau sekarang 12 mil) dan penarikan 3 mil itu tidak sampai ke sipadan dan Ligitan.
Dan terakhir Indonesia kalah di Faktor Occupation (pendudukan).Intinya masyarakat yang tinggal di pulau tersebut banyak bergantung pada transpotasi dan bantuan ekonomi dari Malaysia bertahun-tahun.Sarana hiburan seperti pemancar radio, telepon, dan televisi juga berasal dari Malaysia selama bertahu-tahun).Dari pernyataan diatas yang menjadi penyebab utama kekalahan Indonesia adalah Indonesia kurang memiliki data dan bukti historis yang dapat menunjukan bahwa Belanda juga memiliki kehendak dan tindakan menjalankan fungsi negara yang malahan lebih kuat dari Inggris pada masanya.  Lebih dari itu,sebenarnya Mahkamah Internasional sudah mengetahui kalau Belanda adalah pemilik pulau itu dahulunya. Tetapi, belanda tidak pernah melakukan tindakan yang nyata apapun di Pulau itu.Justru sebaliknya Inggris-lah yang banyak melakukan pembangunan dan invasi di kedua pulau itu.Kemudian, Mahkamah Internasional menolak pembelaan dan argumen Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891.Argumen ini hanya mengatur batasan wilayah di Kalimantan (darat) tidak di perairan. Jauh dari pada itu Konvensi 1891, hanya menarik 3 mil dari titik pantai (kalau sekarang 12 mil) dan penarikan 3 mil itu tidak sampai ke sipadan dan Ligitan.
Dengan memperhatikan posisi dan letak Sipadan dan Ligitan serta ambisi strategis/ekonomis Belanda adalah sulit dibayangkan kalau Belanda tidak melakukan kegiatan pengawasan dan pemanfaatan kedua pulau tersebut pada waktu itu.Disamping itu, nampaknya Indonesia memang agak mengabaikan Sipadan dan Ligitan.Sebelum 1969 barangkali karena Indonesia tidak menyadari keberadaan posisi kedua pulau itu, atau mungkin juga karena terlalu banyak persoalan yang dihadapi. Tetapi sesudah tahun 1969 pada saat mulai muncul sengketa klaim, meskipun disepakati status quo atas Sipadan dan Ligitan, justru Malaysia tetap melanjutkan kegiatannya berupa penangkapan ikan, pariwisata, dan kehadiran penduduk yang terus meningkat.

BAB IV
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan analisis yang telah diuraikan diatas dapat di simpulkan bahwa okupasi yang terjadi di pulau Sipadan dan lingitan mencuat pada tahun 1973 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua belah negara, masing masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan Lingitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan pulau Sipadan dan Lingitan, maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut.
Dalam pandangan atau perspektif hukum internasional sendiri sengketa kepulauan sipadan dan lingitan dalam Hukum Internasional dikenal istilah “Uti Possidetis Juris” yang artinya negara baru akan memiliki wilayah atau batas wilayah yang sama dengan bekas penjajahnya. Dalam sengketa Sipadan-Ligitan, Indonesia dan Malaysia bersepakat istilah “warisan penjajah” itu berlaku untuk wilayah-wilayah yang dikuasai sebelum tahun 1969.
Dengan adanya hukum internasional melalui Mahkamah Internasional kasus sengketa pulau sipadan dan lingitan pun dapat diselesaikan berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Dengan memenangkan Malaysia sebagai pemilik pulau sipadan dan lingitan berdasarkan bukti bukti yang telah di ajukan para pihak dalam persidangan di Mahkamah Internasional
Saran
            Dalam hal ini untuk mengantisipasi agar kepulauan NKRI tidak lepas atau diambil oleh Negara lain Indonesia harus lebih meningkatkan pertahanan dan keamanan nasional dan mengumpulkan bukti bukti atas kepemilikan wilayah NKRI, pemerintah Indonesia harus bersikap tegas dan bersikap tegas terhadap kasus-kasus serupa sehingga wilayah NKRI tetap utuh.
Daftar Pustaka
·         Firdayanti        Aghnaita, 2008, “Kasus Sengketa Pulau Sipadan”,http://studiespassions.wordpress.com
·         KhoerunnisyaNisha,2013, “Sengketa Pulau Sipadan dan Lingitan”, http://nisha-khoerunnisya.blogspot.com/2013/05/sengketa-pulau-sipadan-dan-ligitan.html
·         Pratama Hidayat, 2012, ”Uraian Singkat Kasus Sengketa Indonesia” http://hidayatpratama.blogspot.com/2012/05/uraian-singkat-kasus-sengketa-indonesia.html
·         Tempo,1990, “Malaysia Telah Okupasi Sipadan”,http://tempo.co.id/harian/wawancara/waw-ishaklatuconsina.html
·         Acha Bagas, 2012,”Hukum Internasional”,http://bgazacha.blogspot.com/2012/03/hukum-internasional.html
·         Setyawanta Tri,2008,Hand Out Pokok-Pokok Kuliah Hukum Internasional, Universitas Diponegoro



[1]Bagas Acha ,“Hukum Internasional” diakses dari http://bgazacha.blogspot.com/2012/03/hukum-internasional.html ,pada tanggal 28 september 2013 pukul 11.15
[2]Ibid.
[3]Tri Setyawanta,Hand Out Pokok-pokok Kuliah Hukum Internasional, universitas diponegoro,semarang,2008, hlm. 32
[4]Tempo, “Malaysia Telah Okupasi Sipadan” diakses dari http://tempo.co.id/harian/wawancara/waw-ishaklatuconsina.html, pada tanggal 28 September 2013 Pukul 11.15
[5]Aghnaita Firdayanti,“Kasus Sengketa Pulau Sipadan dan Lingitan” diakses darihttp://studiespassions.wordpress.com , pada 28 September 2013 Pukul 11.15
[6]Ibid.
[7]Hidayat Pratama, “Uraian Singkat  Kasus Sengketa Indonesia” ,diakses dari http://hidayatpratama.blogspot.com/2012/05/uraian-singkat-kasus-sengketa-indonesia.html, pada 28 September 2013 Pukul 11.15
[8]Ibid.
[9]Nisha khoerunnisya, “Sengketa Pulau Sipadan dan Lingitan” ,diakses dari http://nisha-khoerunnisya.blogspot.com/2013/05/sengketa-pulau-sipadan-dan-ligitan.html, pada 28 September Pukul 11.15
[10] Hidayat Pratama, Loc.Cit.